Wednesday, 30 March 2011

Stereotype Terhadap Wanita Merokok

Pada jaman yang terus berkembang ini, budaya merokok di kalangan wanita sudah mulai terlihat biasa. Seperti prinsip-prinsip komunikasi yang ada, yaitu simbolik. Merokok seolah-olah merupakan suatu simbol yang menunjukkan bahwa diri mereka kuat, terlihat lebih gaul, dan agar diterima dalam kelompok mereka yang juga merokok. Makna dari budaya itu sendiri menurut Marsella adalah suatu perilaku yang ditularkan dari satu generasi ke generasi lain, dimana memiliki beberapa tujuan yaitu mempertahankan kelangsungan hidup individu dan sosial, adaptasi, pertumbuhan dan perkembangan. Budaya merokok ini ada sebagai bentuk adaptasi seseorang terhadap lingkungannya, agar bisa tetap diterima dalam kelompoknya, seperti fungsi budaya menurut Triadis.

Stereotype tersebut terbentuk karena pengalaman-pengalaman yang terlihat sehari-hari terhadap teman dan pengamatan secara kasat mata yang ditemui ketika pergi ke suatu tempat, seperti mall, kampus, dan tempat “nongkrong” seperti cafe. Budaya merokok terjadi karena orientasi kegiatan, yaitu being orientation dimana budaya memandang segala sesuatunya sebagai “mengalir” secara spontan. Maksudnya adalah bahwa awalnya tidak ada suatu keinginan agar merokok ini dijadikan suatu budaya yang semakin meluas, terutama di kalangan wanita. Tapi karena dengan maksud agar diterima dalam kelompoknya, merokok kemudian menjadi suatu budaya dalam masyarakat. Selain itu pemikiran ini terbentuk dari bentuk pengajaran dalam keluarga yang mengatakan bahwa wanita tidak sebaiknya merokok. Wanita yang merokok tersebut bisa saja juga menggunakan narkoba dan suka meminum-minuman keras, mereka wanita “nakal”. Dengan sudah “masuk” nya mereka ke dalam budaya merokok, maka peluang terjerumus ke dalam narkoba dan free sex menjadi lebih mudah. Budaya yang diturunkan dari orang tua itulah yang akhirnya membuat pemikiran terhadap wanita yang merokok itu tidak baik.

Terdapat beberapa contoh tindakan atau pendapat yang bersifat stereotyping terhadap kelompok wanita perokok aktif ini. Yaitu dilihat dari pakaian yang digunakan, mereka sering menggunakan pakaian yang terlihat seksi dan menggoda, terlihat dari komunikasi non verbal clothing and physical appearance yang dilakukan secara kasat mata, ekspresi muka yang cenderung terlihat seperti menantang, cara bicara mereka yang bebas, lepas dan kadang mengeluarkan kata-kata yang tidak baik. Mereka terlihat nakal, seolah-olah merasa gaul dengan merokok, dan suka minum minuman keras. Pendapat lainnya adalah mereka merokok karena teman-teman yang lainnya juga merokok dan mereka merasa ingin tau apa rasa rokok itu, kemudian mencobanya dan akhirnya menjadi suatu ketergantungan dan budaya tersendiri bagi mereka. Walaupun terdapat beberapa yang tidak mejadikan merokok tersebut sebagai budaya dalam dirinya, tapi tak sedikit wanita yang pernah mencoba untuk merokok karena rasa ingin tahu yang besar terhadap rokok. Dari sini dapat dilihat bahwa budaya merokok dapat dikatakan sudah menjadi dominant culture, yaitu memiliki “kekuatan” untuk mempengaruhi perilaku mayoritas dari masyarakat. Dimana co-culture nya adalah mencoba merokok lalu tidak dilanjutkan, tidak ingin mencoba rokok tapi ingin tahu tentang rokok, dan pernah mencoba merokok tapi tidak dilanjutkan atau tidak ketergantungan.

Dengan berjalannya waktu dan pengetahuan serta pergaulan yang semakin berkembang dan mendalam, kemudian secara perlahan stereotype terhadap wanita merokok tersebut berubah, dan tidak sesuai dengan yang pada awalnya terpikirkan. Walaupun ada beberapa hal yang sesuai dengan stereotype tersebut, tapi tidak semuanya benar. Semuanya tergatung pribadi masing-masing individu, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang unik. Tidak ada manusia yang sama persis. Setiap individual diberikan kemampuan untuk berpikir dan memutuskan sendiri, bukan sebagai boneka atau robot yang bertindak sesuai budayanya. Melalui proses wawancara yang tidak disengaja terhadap beberapa teman dekat dan melalui komunikasi non verbal yaitu proxemics: personal space (jarak pribadi) dan kinesics (gestures, ekspresi wajah, dan kontak mata) yang lebih mendalam sebagai bentuk keingintahuan terhadap alasan mengapa mereka merokok, dan pengamatan terhadap perilaku dan sikap mereka, akhirnya diketahui bahwa tidak semua wanita yang merokok menggunakan pakaian yang seksi dan menggoda. Ada banyak wanita yang berpakaian biasa-biasa saja, bahkan terlihat sebagai seseorang yang “alim” yang ternyata juga merokok. Selain itu mereka merokok bukan karena alasan ingin dikatakan sebagai wanita yang gaul ataupun mandiri, namun karena berawal dari coba-coba dan rasa penasaran, akhirnya mereka merasa ketergantungan dan tidak dapat berhenti. Apalagi zat adiktif yang ada dalam rokok membuat mereka merasa nyaman, terlebih ketika sedang ada masalah, mereka merasa rokok bisa menenangkan pikiran mereka. Tak jarang juga seseorang merokok karena lokasi,seperti di tempat (ketika di lounge, cafe) waktu (saat berkumpul dengan teman-teman), orang sekitar, dan kegiatan apa yang sedang berlangsung. Ini sesuai dengan prinsip komunikasi.yaitu sistemik. Stereotype merokok karena ikut-ikutan adalah benar.

Stereotype memang pasti dialami oleh setiap orang, dan terkadang menjadi hambatan dalam berkomunikasi, entah menjadi canggung untuk berbicara atau merasa aneh. Tapi bukan berarti hambatan tersebut justru membuat kita tidak dapat berkembang. Kita harus bersikap skeptis dan mencari tahu apakah stereotype yang terdapat dalam benak kita benar seperti itu atau tidak. Salah satu caranya untuk mencari tahu adalah dengan bergaul dan melakukan pembicaraan yang mendalam dengan mereka, tanpa harus terpengaruh dengan budaya merokok tersebut. Harus ditanamkan dalam pemikiran kita bahwa tidak semua yang ada dalam stereotype tersebut benar. Kita harus mencari informasi, stimulus lainnya agar stereotype tersebut dapat hilang perlahan-lahan dalam benak kita. Dengan cara itu kita bisa menghargai mereka dengan budaya mereka, mereka tetap bisa merasa nyaman dengan diri mereka apa adanya, begitu pula kita. Seperti dalam “point of contact” domestik, dalam setiap budaya terdapat budaya lain yang lebih spesifik (co-cultures atau spezialized cultures). Interaksi antara beberapa orang yang berbeda co-cultures adalah komunikasi antar budaya, dan kita harus menghargainya agar tercipta kehidupan yang selaras dan harmonis.

Sumber:

Zubair, Agustina. 2006. Definisi Komunikasi, (online),

(http://meiliemma.wordpress.com/2006/10/17/definisi-komunikasi/, diakses 21 Oktober 2009)

-Inda-
Jurusan Komunikasi
Public Relations
Program Diploma
Universitas Indonesia
2007
Universitas Indonesia

1 comment:

Unknown said...

Infonya sangat bermanfaat