Friday 22 July 2011

Perbedaan antara Economies of Scale dengan Economies of Scope, dan Perbedaan Learning Curve dengan Economies of Scale

Perbedaan antara Economies of Scale dengan Economies of Scope

Seiring dengan terjadinya peningkatan output, biaya rata-rata perusahaan untuk menghasilkan output akan cenderung menurun, setidaknya dalam beberapa hal atau input produksi. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa alasan seperti:

a. Jika perusahaan beroperasi pada skala yang lebih besar, pekerja dapat mengkhususkan diri dalam kegiatan di mana mereka paling produktif.

b. Skala dapat membuat pekerjaan lebih fleksibel. Dengan adanya variasi dari kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output perusahaan, manajer dapat mengatur proses produksi yang lebih efektif

c. Perusahaan mungkin dapat memperoleh beberapa input produksi dengan biaya yang lebih rendah karena mereka membeli dalam jumlah besar. Kombinasi dari input mungkin berubah jika manajer mengambil keuntungan dari input biaya lebih rendah.

Namun, pada suatu titik tertentu, kemungkinan biaya rata-rata produksi akan mulai meningkat dengan output bisa saja terjadi. Terdapat beberapa alasan yang mengakibatkan perubahan ini, yaitu:

a. Dalam jangka pendek, ruang pabrik atau kapasitas pabrik dan mesin membuat lebih sulit bagi para pekerja untuk melakukan pekerjaan mereka secara efektif.

b. Mengelola perusahaan yang lebih besar mungkin menjadi lebih kompleks dan tidak efisien karena jumlah tugas yang semakin banyak.

c. Keuntungan membeli dalam jumlah besar mungkin telah menghilang setelah mencapai jumlah tertentu. Pada titik tertentu, pasokan yang tersedia untuk input pokok mungkin terbatas, dan hal ini akan mendorong biaya yang akan dikeluarkan menjadi lebih banyak.

Hal diataslah yang disebut dengan analisis long run dan short run. Dimana dalam analisis inilah kemudian diketahui atau ditemukan suatu istilah yang dinamakan economies of scale, yaitu situasi dimana output yang dihasilkan atau didapatkan oleh perusahaan bisa 2 kali lebih banyak dari sebelumnya, tanpa membutuhkan biaya sebesar 2 kali lipatnya.

Contohnya adalah dalam pabrik pembuatan lemari kaca. Awalnya mereka mampu memproduksi sebesar 1000 lemari dengan harga Rp 2.500.000,00. Dimana kemudian karena adanya efisiensi dari penggunaan mesin dalam perusahaan, akhirnya perusahaan dapat memproduksi 2000 lemari dengan harga Rp 2.000.000,00. Total production cost akan meningkat menjadi 4 miliar dari sebelumnya yang sebesar 2,5 miliar. Tapi biaya per unit nya akan turun dari Rp 2.500.000,00 menjadi Rp 2.000.000,00. Asumsi perusahaan menjual lemari tersebut dengan harga 3.500.000,00 per buahnya, maka profit margin yang didapatkan awalnya hanya sebesar Rp 1.000.000,00 meningkat menjadi sebesar Rp 1.500.000,00 untuk setiap buahnya.

Economies of scale biasanya dihitung dengan menggunakan pendekatan elastisitas cost-ouput (EC), dimana rumusnya adalah:




Ec = ( DC / C ) / ( Dq / q )


Dimana C adalah cost (biaya)

DC adalah perubahan jumlah biaya yang dibutuhkan

q adalah jumlah barang yang dihasilkan

Dq adalah perubahan jumlah barang yang dihasilkan


Sedangkan economies of scope adalah situasi dimana joint output dari satu perusahaan lebih besar dibandingkan dengan output yang akan dicapai oleh dua perusahaan berbeda yang memproduksi barang yang sama. Atau singkatnya dimana satu perusahaan memproduksi lebih dari 1 jenis barang. Untuk mengukur derajat dari economies of scope, kita harus tahu berapa persen dari biaya produksi yang disimpan/tersimpan ketika dua atau lebih produk barang diproduksi secara bersama sama dibandingkan secara individual (satu perusahaan memproduksi 1 jenis barang), yaitu dengan rumus:


SC = (Cq1) + (Cq2) - C(q1,q2)

____________________

C(q1,q2)


Dalam economies of scale, pengurangan biaya rata rata produksi digunakan untuk menambah total produksi dalam jenis barang yang sama, sedangkan untuk economies of scope, penurunan biaya rata rata produksi akan digunakan untuk memproduksi 2 jenis barang atau lebih. Maka dalam perusahaan akan ada keragaman hasil produksi.

Contohnya adalah perusahaan travel Jakarta-Bandung. Dalam satu perusahaan terdapat berbagai jenis macam produk. Awalnya hanya transportasi Jakarta-Bandung, tapi kemudian ada produk lain juga yaitu taksi dan pengiriman barang. Sehingga ada keragaman produksi, dimana dapat meningkatkan efektifitas dari perusahaan tersebut. Seperti pada saat ada pengiriman barang ke Bandung, akan lebih efektif ketika pengiriman barang bersamaan dengan keberangkatan travel ke Bandung.


Perbedaan antara learning curve dengan economies of scale

Learning curve adalah Grafik yang terkait jumlah input yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk menghasilkan setiap unit output, dengan output kumulatif. Biaya produksi Sebuah perusahaan bisa jatuh dari waktu ke waktu ketika manajer dan pekerja menjadi lebih berpengalaman dan lebih efektif dalam menggunakan peralatan yang tersedia. Learning curve menunjukkan sejauh mana jam kerja yang diperlukan per unit output sebagai meningkatkan output kumulatif.



Gambar diatas adalah gambar learning curve yaitu yang menghubungkan antara jumlah waktu yang dipakai dengan jumlah output kumulatif. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas akan kurang setiap kali tugas dilakukan. Waktu unit akan mengurangi pada tingkat yang menurun. Penurunan waktu akan mengikuti pola tertentu.

Learning curve dapat bervariasi antara satu produk lain dan dari satu organisasi dengan yang lainnya. Tingkatnya tergantung pada faktor-faktor seperti kualitas manajemen dan potensi dari proses dan produk. Selain itu, dapat dikatakan bahwa setiap perubahan personil, proses, atau produk mempengaruhi learning curve. Akibatnya, harus berhati-hati dan teliti dalam mengasumsikan bahwa satu learning curve yang terus-menerus dan permanen.

Learning curve cukup berguna dalam berbagai aplikasi, termasuk evaluasi strategis perusahaan dan kinerja industri, peramalan tenaga kerja internal, biaya mendirikan dan anggaran, perencanaan produksi, dan pembelian eksternal. Teori learning curve didasarkan pada dua kali lipat produktivitas (economies of scale) Lebih khusus lagi, ketika output atau produksi ganda, penurunan waktu per unit mempengaruhi tingkat learning curve.

Contohnya adalah dalam industri pesawat. Learning curve berkaitan dengan kebutuhan tenaga kerja per pesawat dengan jumlah kumulatif pesawat yang diproduksi. Karena proses produksi menjadi lebih terorganisir dan pekerja semakin tahu dan paham dengan pekerjaan mereka, kebutuhan tenaga kerja turun drastis.

Sedangkan economies of scale, seperti yang kita ketahui dan disebutkan diatas, memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat learning curve, yaitu dari segi total output yang diproduksi, atau yang dalam learning curve disebut dengan output cumulative. Dimana semakin tinggi jumlah outputnya, maka jumlah tambahan pekerja yang dibutuhkan akan semakin sedikit. Sehingga hal ini pun juga dapat mempengaruhi efektifitas dari perusahaan.

Referensi:

http://tutor2u.net/business/gcse/production_economies_of_scale.htm

www.foundationcoalition.org/resources/ie/Learning/Learning.ppt

http://www.pakistanacca.com/2010/05/12/learning-curve-thoery-paper-f5/

Pindyck and Rubinfield, “Microeconomics”, ed. 8, chapt. 7, Pearson Education, 2009.

Analisis Peningkatan Permintaan Sepeda Terhadap Produksi dan Pasar Sepeda


Saat ini, permintaan sepeda oleh konsumen dari tahun sebelumnya ke tahun 2011 meningkat sekitar 15% - 20%. Hal ini terjadi seiring dengan adanya perubahan gaya hidup, kebiasaan, dan selera masyarakat, yaitu gaya hidup go green. Apalagi kampanye bike to work dan adanya regulasi pemerintah mengenai car free day semakin mendukung perubahan gaya hidup dan selera masyarakat terhadap sepeda, sehingga pengguna alat transportasi sepeda pun meningkat, yang berimplikasi terhadap permintaan sepeda yang juga meningkat.

Seperti kita ketahui, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi pergeseran permintaan. Yang paling utama adalah berubahnya harga barang tersebut. Apabila yang terjadi adalah perubahan harga, dan yang lain diasumsikan tetap (ceteris paribus), maka yang terjadi adalah perubahan jumlah barang yang diminta, atau movement along demand curve, dan bukan fungsi permintaannya yang berubah.

Namun, dalam hal permintaan sepeda ini, yang mempengaruhi peningkatan permintaan sepeda adalah hal diluar harga barang, yaitu selera masyarakat, dalam hal ini adalah gaya hidup, kebiasaan. Maka permintaan masyarakat terhadap sepeda pun bertambah, yang mengakibatkan kurva permintaan bergeser ke kanan, atau shifthing ke kanan, seperti yang diperlihatkan dalam kurva permintaan di bawah ini.



Dalam gambar diatas, yang terjadi pada permintaan sepeda adalah kurva permintaan bergeser dari kurva D, menjadi D1.

Tentu dengan adanya peningkatan permintaan sepeda ini, produsen pun harus meningkatkan jumlah produksinya untuk memenuhi peningkatan ini. Tapi peningkatan produksi ini pun tidak dapat dilakukan dengan tanpa perhitungan yang tepat. Perusahaan harus memperhatikan biaya produksi yang dibutuhkan, produktivitas, kapasitas maksimum produksi, serta efesiensi dari penggunaan faktor produksi yang ada, seperti teknologi,dan juga sumber daya manusia yang dimiliki.

Keputusan tingkat produksi senantiasa berkaitan dengan tingkat produktivitas faktor-faktor produksi yang digunakan. Dalam teori produksi pun disebutkan bahwa produktivitas yang tinggi akan menyebabkan tingkat produksi yang sama dapat dicapai dengan biaya yang lebih rendah.

Membicarakan tentang biaya inipun juga memiliki dimensi waktu. Dalam arti, tidak selamanya produktivitas yang tinggi dapat dicapai dengan biaya yang lebih rendah, karena pada saat produksi jangka panjang, semua biaya adalah variabel. Tidak seperti pada produksi jangka pendek, dimana terdapat fixed cost atau biaya tetap, yaitu biaya yang besar pengeluarannya tetap, sekalipun perusahaan tidak berproduksi, seperti contohnya adalah mesin.

Dari data yang ada, dapat ditotal jumlah dari produksi sepeda yang ada di Indonesia adalah kurang lebih sebesar 1.468.000 unit. Ini dilihat menurut produsen besar sepeda, yaitu united bike, wim cycle dan juga polygon. Jika asumsi produsen sepeda yang kecil mampu berproduksi sekitar 0,1% dari total yang diproduksi oleh produsen besar tersebut, atau sekitar 5 sepeda per hari, maka total produksi dari sepeda dalam negeri adalah sekitar 1.469.468 unit. Tentu angka ini masih sangat jauh dari jumlah permintaan sepeda di pasar, walaupun akhirnya banyak para importir yang melihat peluang ini, dan akhirnya merekalah yang ‘mengisi’ permintaan dari para konsumen.

Dan yang menjadi pemikiran para produsen sepeda adalah mereka berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi., Harus ada beberapa hal yang diperhatikan, salah satunya adalah besarnya biaya rata-rata. Dalam menggambarkan kurva biaya rata – rata terdapat sifat penting yaitu bahwa kurva AVC dan AC akan dipotong oleh MC pada titik terendah di masing – masing kurva

Dengan kata lain ketika kurva AVC dan AC turun maka kurva MC ada dibawah kedua kurva tersebut, dan jika AVC dan AC naik maka MC pasti terletak di atas kedua kurva tersebut. Seperti terlihat pada kurva dibawah ini

Dengan memproduksikan barang pada tingkat dimana perbedaan diantara hasil penjualan total dengan biaya total adalah yang paling maksimum atau dengan memproduksi barang pada tingkat dimana hasil penjualan marginal sama dengan biaya marginal. Saat inilah seharusnya produsen sepeda memproduksi sepedanya.

Selain jangka pendek, perlu juga dilihat biaya total rata-rata jangka panjang seperti yang terlihat dalam kurva dibawah ini


Apabila produsen sepeda berpandangan bahwa tingkat output yang memberikan laba adalah titik A, maka dalam jangka pendek, produsen sepeda akan memutuskan berproduksi dengan pabrik kecil, atau pada kurva biaya rata-rata AC1. Namun karena permintaan pasar yang cukup besar, dan perkiraan produsen tentang pasar sepeda semakin besar, kedepannya, maka jumlah sepeda yang harus diproduksipun harus ditingkatkan, sehingga kuantitas produksi yang dibutuhkan pun sebanyak QC, dengan biaya rata-rata minimum titik C. Karena inilah akhirnya produsen memilih pabrik skala besar.

Selain perhitungan biaya total rata-rata, perusahaan juga harus memperhatikan teknologi produksi dan juga sumber daya manusia yang tersedia di perusahaan. jangan sampai teknologi sudah canggih, tapi karyawan atau yang ahli di bidang pembuatan sepeda tidak mencukupi, karena hal ini justru akan mengakibatkan inefisiensi yang cukup besar.

Jika dilihat menurut perkembangan pasar sepeda di Indonesia, yang terjadi adalah persaingan monopolistic, karena di dalam pasar ini, produk yang ada terdiferensiasi (differentiated product). Dapat dilihat dari banyaknya jenis sepeda. Mulai dari sepeda gunung (MTB), sepeda lipat, sepeda bmx, sepeda fixie, dan masih banyak lagi, dimana di setiap jenisnya pun memiliki spesifikasi yang berbeda pula.

Jika seseorang pergi ke toko sepeda, maka orang tersebut dapat membedakan sepeda berdasarkan produsennya, karena merk memiliki kekuatan yang cukup besar daam pasar monopolistic. Ini juga salah satu indikator mengapa sepeda termasuk ke dalam pasar persaingan monopolistic, karena dalam pasar persaingan sempurna, konsumen membeli barang tanpa perlu membedakan siapa produsennya. Yang ada dalam pasar ini adalah garam. Ketika orang membeli garam, maka merk apapun, atau produsen manapun tidak akan berpengaruh, karena semua garam, bagi konsumen sama. Tidak ada diferensiasi produk. Sedangkan dalam pasar sepeda tidak demikian.

Selain itu, di dalam pasar sepeda, juga terdapat banyak produsen, tidak hanya ada 1 produsen saja. Baik perusahaan yang memproduksi dalam skala besar, maupun produsen yang memproduksi dalam skala yang kecil, atau industri rumahan.

Salah satu ciri lainnya dari pasar persaingan monopolistic ini adalah bahwa para produsen dapat dengan bebas masuk dan keluar pasar (free entry and exit)


Referensi:

Raharja, Prathama. Teori Ekonomi Mikro (Suatu Pengantar). ed. 3. Fakultas Ekonomi UI.

http://agsasman3yk.files.wordpress.com/

http://b2w-indonesia.or.id/

http://dertyue.com/

http://industri.kontan.co.id/

http://www.ripiu.com/

http://she2008.wordpress.com/